PENERAPAN SANKSI ADAT DALAM USAHA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL
- PENDAHULUAN
Pembangunan hukum nasional yang senantiasa patut mendapat perhatian kita bersama yaitu memelihara tata hukum yang ada, yang merupakan konsekuensi logis dari ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Daniel S. Lev mengatakan “The real transformation of the legal system of former colonies depends largely on the formation of new ideals which impel the law in fundamentally different direction from those of the colony”. (kurang lebih terjemahannya “perubahan bentuk riil sistem hukum dari jajahan-jajahan terdahulu tergantung sebagian besar di pembentukan ideal baru yang mendorong hukum di dalam arah pada dasarnya berbeda dari mereka yang dari jajahan”). Karena itu ketentuan lama yang masih ada dan berlaku tersebut, hendaknya tidak semata-mata berpegang pada pasal-pasal yang merupakan huruf mati, namun pijakannya disesuaikan dengan situasi dan keadaan yang sudah berubah, yang akan mendorong hukum itu ke arah bentuk yang baru yang berbeda dengan yang berlaku pada masa kolonial.
Sistem hukum nasional Indonesia dari masa ke masa harus dapat dikembangkan berdasarkan pola hukum, diperlukan keterpaduan dan kesearahan antara pembentuk hukum, pengadilan, aparat penegak hukum, aparat pelayanan hukum, profesi hukum, dan juga masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar pada akhirnya peraturan perundang-undangan, yurisprudensi dan hukum kebiasaan akan menjadi satu kesatuan yang terpadu. Oleh karena itu untuk setiap bidang hukum itu sendiri diperlukan suatu rencana pengembangan dan organisasi yang mengarahkan dan mensinkronkan semua usaha oleh masing-masing pelaku dalam proses pembentukan hukum nasional. Dengan demikian tugas pembangunan bidang hukum, tidak dapat dikatakan appriori menjadi tanggung jawab pemerintah saja, akan tetapi kita menyadari bersama bahwa usaha pembaharuan hukum menuntut partisipasi aktif masyarakat khususnya Cendekiawan, kalangan Perguruan Tinggi dan Profesi Hukum.
Dalam kaitannya dengan pembangunan hukum nasional, maka sudah barang tentu negara Indonesia ada keharusan untuk menegakkan kembali sokoguru sistem hukum nasional dengan menggalakkan dan meningkatkan pembentukan hukum yang sesuai dengan rambu-rambu Undang-Undang Dasar 1945, untuk menggantikan hukum yang lama dalam satu era hukum yang berbobot dan mantap. Menurut Ismail Saleh, dalam melakukan pembangunan hukum (nasional), ada tiga komponen utama yang harus diperhatikan, yaitu: (1) komponen norma hukum dan perundang-undangan, (2) komponen aparat penegak hukum, dan (3) komponen kesadaran hukum masyarakat. Tetapi menurut Barda Nawawi Arief, masih ada satu komponen (pilar) lagi yang sepatutnya mendapat perhatian dalam upaya pembangunan dan pembaharuan hukum nasional, yaitu (4) komponen pendidikan hukum, khususnya pendidikan tinggi hukum (Barda Nawawi Arief, 1994: 1).
Selanjutnya I Made Widnyana menyebutkan, bahwa dalam mengadakan pembaharuan hukum pidana nasional hendaknya memperhatikan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh norma adat yang unsur-unsurnya dapat diterima secara nasional serta perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan oleh kepercayaan atau Agama dari masyarakat Indonesia dengan tidak mengurangi tuntutan modernisasi dan perkembangan Internasional (I Made Widnyana, 1994: 2). Namun dalam kenyataannya karena negara Indonesia memiliki beberapa persekutuan hukum adat yang masih berlaku, maka hal demikian akan menyulitkan hakim untuk mengetahui dan sekaligus memahami norma-norma hukum (berlakunya hukum pidana adat) yang sesuai dengan perasaan hukum masyarakat yang bersangkutan. Hal ini karena nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat itu dapat bersumber atau digali dari nilai-nilai hukum adat dan nilai-nilai hukum agama.
Pernyataan dan strategi pengembangan hukum nasional yang demikian terungkap di dalam Resolusi Bidang Hukum Pidana Seminar Hukum Nasional ke I Tahun 1963, yang di dalam Resolusi Butir IV disebutkan: “Yang dipandang sebagai perbuatan jahat itu adalah perbuatan yang dirumuskan dalam KUHP… Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut Hukum Adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan…”. Selanjutnya dalam Resolusi Butir VIII disebutkan “Unsur-unsur Hukum Agama dan Hukum Adat dijalinkan dalam KUHP” (Barda Nawawi Arief, 1998: 118).
Dalam Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional 1980, yang dalam laporan angka II antara lain dinyatakan: Usaha pembaharuan hukum pidana agar didasarkan pada Politik Hukum Pidana dan Politik Kriminal yang mencerminkan aspirasi nasional… Dalam hubungan ini maka proses pembaharuan tersebut haruslah melalui penelitian dan pengkajian yang mendalam tentang: “hukum pidana adat dan agama yang hidup dalam masyarakat Indonesia,…” (Barda Nawawi Arief, 1998: 119).
Selanjutnya di dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disebutkan “Segala putusan pengadilan … harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis”. Dekimian juga dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menyebutkan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup”.
Dari berbagai pernyataan tersebut, maka kiranya dapat dikatakan bahwa upaya melakukan penggalian dan pengkajian nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, pada dasarnya merupakan beban dan amanat nasional, dan bahkan merupakan kewajiban dan tantangan nasional.
PERMASALAHAN
- Apakah sanksi adat dapat dijadikan sebagai dasar dalam usaha pembaharuan hukum pidana nasional?
- Bagaimanakah usaha Hakim Indonesia dalam penerapan sanksi adat?
PENUTUP
- Kesimpulan
- Sanksi hukum pidana adat telah dimasukkan dalam konsep KUHP Baru. Khusus mengenai pemenuhan kewajiban adat, mempunyai sifat mendua atau mempunyai kedudukan ganda, yaitu bisa sebagai pidana pokok dan bisa pula sebagai pidana tambahan. Jika tindak pidana yang memenuhi Pasal 1 ayat (3) Konsep KUHP (Baru), maka ia merupakan pidana pokok, sedangkan dalam hal tindak pidana menurut adat stempat merupakan perbuatan yang dapat dipidana dan diatur dalam undang-undang (ada bandingannya dalam KUHP) maka pidana pemenuhan kewajiban adat itu, menjadi pidana tambahan.
- Dasar hukum yang memberikan kewenangan bagi Hakim untuk menggunakan sanksi adat adalah selain Pasal 5 ayat (3) b Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951, juga dalam Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Namun demikian Hakim Pengadilan di dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan delik adat seringkali tidak menjatuhkan sanksi adat. Padahal keberadaan sanksi adat ini sebenarnya mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karenanya apabila terjadi pelanggaran, maka si pelanggar sudah sewajarnya diharuskan untuk melakukan suatu upaya-upaya tertentu seperti upacara adat (bersih desa), yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan kekuatan magis yang dirasakan terganggu. Pembagian strategi penanggulangan kejahatan dalam upaya memberikan perlindungan masyarakat dapat ditempuh melalui 3 (tiga) tahap, yakni: (1) Tahap kebijakan formulatif/legislatif, (2) Tahap kebijakan aplikatif atau kebijakan yudikatif/yudisial, dan (3) Tahap kebijakan eksekutif atau
- Saran
- Sebaiknya hakim selain menjatuhkan pidana pokok kepada si pelanggar delik pidana (adat) juga menjatuhkan pidana tambahan (yang berupa pemenuhan kewajiban adat) untuk memikul biaya pemulihan keseimbangan yang telah dilanggar.
- Hendaknya Hakim Pengadilan di Indonesia benar-benar memperhatikan dan menggali hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar setiap keputusan yang diambil betul-betul dapat mencerminkan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, 1998.
————–, Bungan Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, 1996.
————–,Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, UNDIP, Semarang, 1996.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1984.
Hardiwinoto, Soekotjo, Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP Semarang, UNDIP, Semarang, 1995.
Hartono, Sunaryati C.F.G., Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.
Kusmayadi, I Gde, Eksistensi Delik Adat Dalam Praktek Peradilan di Beberapa daerah dalam Menunjang Pembangunan Hukum Pidana Nasional (KUHP Baru), Makalah Seminar, FH Universitas Mataram, 1994.
Muhammad, Bushar, Pokok-Pokok Hukum Hukum Adat, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1983.
Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Di Masa Datang (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar), 1990.
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979.
Sudjana, I Ketut, Upaya Non Penal Sebagai Salah Satu Sarana Penanggulangan Kejahatan, FH-UDAYANA, Denpasar, 1994.
Widnyana, I Made, Eksistensi Delik Adat Lokika Sanggraha Dalam Pembangunan Hukum Pidana Nasional, Orasi Ilmiah dalam rangka Jubelium Perak Universitas Udayana, 1987.
————–, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, PT. Eresco, Bandung, 1993.
—————, Eksistensi Tindak Pidana Adat dan Sanksi Adat Dalam KUH Pidana (baru), Makalah Dalam Seminar Nasional Relevansi Hukum Pidana Adat dan Implementasinya Dalam Hukum Pidana Nasional, FH UNUD, Denpasar, 1994.Tim Pengkajian/Rancangan Undang-Undang Bidang Hukum Pidana, Buku I KUHP Baru, Badan Pembinaan hukum Nasional Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1991.
Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Volume I/Nomor 1/1998, ASPEHUPIKI dengan PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.