OPTIMALISASI SANKSI PIDANA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Bagian 1.
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki kekayaan alam yang besar, dengan jumlah penduduk yang tinggi, semestinya menjadi negara yang kuat ekonominya, oleh karena kedua faktor tersebut merupak aset utama bagi suatu negara dalam memajukan perekonomian bangsa. Dalam realitasnya justru Indonesia merupakan negara yang menduduki peringkat terendah dalam pendapatan perkapita, dibanding Singapura yang tidak memiliki sumber daya alam bahkan dengan penduduk dan luas wilayah yang sangat kecil dibandingkan Indonesia.
Keberadaan Indonesia sebagai negara dengan pendapatan perkapita terendah tersebut terutama disebabkan oleh tingginya tindak pidana korupsi di Indonesia. Indonesia saat ini menduduki peringkat tertinggi dalam kasus tindak pidana korupsi, diikuti berturut-turut India, Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Cina. Sebaliknya negara yang menduduki peringkat terendah dalam kasus tindak pidana korupsi adalah Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan.
Korupsi sesungguhnya bukan suatu hal yang baru muncul. Korupsi sangat dibenci, namun diam-diam banyak orang tanpa kecuali, terutama dari lapisan masyarakat atas, jika ada kesempatan sangat menyukai korupsi. Sejak zaman dahulu korupsi dikenal dan dipraktekkan oleh banyak orang dari berbagai kalangan, korupsi bukan sekedar sebuah fenomena sosial ataupun yuridis tetapi juga politis. Para koruptor dipandang sebagai orang yang serakah, rakus dan akan terus menyalahgunakan kedudukan, jabatan, ataupun posisinya serta kewibawaaannya untuk terus melakukan korupsi dengan pelbagai cara, secara terbuka, secara terselubung, secara kasar ataupun secara halus, untuk ini manusia di belahan dunia manapun pada dasarnya sama, tidak ada batasan waktu dan tempat.
Korupsi sebagai salah satu jenis kejahatan yang sangat merugikan perekonomian bangsa dan menghambat pembangunan pada umumnya terjadi hampir pada seluruh aspek pemerintahan, dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, bahkan Indonesia diibaratkan berada dalam stadium penyakit kanker korupsi stadium ketiga.[1] Tindak pidana korupsi saat ini semakin mewabah, korupsi tidak hanya terjadi di pusat kekuasaan negara, tetapi telah sampai di daerah-daerah, dan cenderung menunjukkan model terbaru yaitu dijastifikasi melalui keputusan pejabat berwenang dan secara berkelompok atau lebih trend disebut “korupsi berjama’ah”. Ibarat tumbuhan maka korupsi telah mengakar kuat dalam budaya bangsa, sehingga seperti halnya mencabut tumbuhan maka harus mecabut sampai keakarnya, karena jika masih meninggalkan akar maka masih berpeluang untuk tumbuh kembali. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan, terlebih dilakukan oleh aparatur negara ditengah-tengah bangsa dan negara ini sedang mengalami krisis ekonomi yang menyebabkan sebagian rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Walaupun usaha pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi melalui penyediaan perangkat peraturan perundang-undangan dan berbagai upaya penegakan hukumnya terus dilakukan, namun pada kenyataannya tindak pidana korupsi itu sendiri masih saja terjadi bahkan dapat dikatakan terus meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas.
Korupsi dari sisi hukum pidana dipandang sebagai salah satu tindak pidana khusus dan merupakan faktor penghambat bagi terselengaranya pembangunan nasional yang efektif dan efisien serta merupakan ancaman yang serius bagi terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Dalam sejarah peradaban bangsa Indonesia sejak merdeka hingga sekarang, diakui bahwa korupsi merupakan suatu fenomena sosial yang mewarnai seluruh proses pembangunan sejak dasawarsa 1950-an. Pendapat Soedjono Dirdjosisworo[2] bahwa korupsi telah menjadi suatu masalah yang serius bagi bangsa Indonesia pada tahun-tahun awal mengisi kemerdekaannya, dan sejak itu pula yakni pada tahun 1957 korupsi telah mendapat predikat dalam peraturan perundang-undangan pidana dan dianggap sebagai tindak pidana melalui ditetapkannya Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer di Daerah Kekuasaan Angkatan Darat Nomor Prt/PM-06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Sejak dikeluarkannya peraturan tersebut di atas yang kemudian disusul dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (ditetapkan menjadi UU No. 24 Prp. 1960 melalui UU No. 1 Tahun 1961), Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 maka dari segi penyediaan perangkat peraturan dalam upaya memberantas korupsi dapat dikatakan pemerintah telah berusaha secara maksimal, namun dalam kenyataannya tindak pidana korupsi masih tetap sulit untuk diberantas dan dihilangkan.
Melihat kondisi tersebut, maka sudah sepantasnya dicari cara yang efektif untuk mendorong dan menciptakan institusi penegak hukum (kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan), beserta aparat penegak hukum sebagai benteng terakhir bagi masyarakat dalam memperoleh kepastian hukum dan keadilan sosial, dan dapat berperan efektif sebagai aktor penting dalam menuntaskan kasus korupsi. Selain itu pula perlu dicari bentuk penanganan yang tepat, baik dengan upaya pre-emptif, preventif, maupun represif dengan melibatkan lembaga-lembaga peradilan pidana dan kerjasama dengan instansi terkait. Sejalan dengan hal tersebut, maka yang menjadi fokus permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut adalah:
- Bagaimanakah model pengenaan sanksi pidana yang tepat bagi pelaku tindak pidana korupsi agar menimbulkan kejeraan
- Bagaimanakah indikator pengenaan sanksi pidana sebagai pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan putusan bagi pelaku tindak pidana korupsi?
[1]J.E. Sahetapy, Berpacu Dengan Korupsi, (Makalah), Surabaya, 2002, h.3.
[2]Soedjono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-undangan Pidana Dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, h.2.