Masalah Anak dan Perempuan
Pendahuluan
Anak mempunyai peranan yang penting di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, karena kedudukannya sebagai calon pengganti atau penerus bangsa. Oleh karena itu anak mempunyai potensi untuk berperan secara aktif menjaga kelestarian kehidupan bangsa yang luhur, yang dasar-dasarnya telah diletakkan generasi sebelumnya, guna mewujudkan tujuan pembentukan suatu pemerintah yang melindungi bangsanya. Sebagai pelaksana penerus cita-cita bangsa, anak mempunyai kewajiban yang mulia dan tanggung jawab yang berat demi terwujudnya tujuan negara Republik Indonesia.
Dapatlah dibayangkan betapa besar tanggung jawab yang diharapkan dari anak dikemudian hari, sebagai warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya di dalam kehidupan bermasayarakat dan bernegara. Dengan demikian kedudukannya yang penting tersebut mutlak mendapat perlindungan secara wajar agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan wajar pula. Oleh karena itu demi terwujudnya harapan bagi generasi terdahulu yang juga merupakan harapan luhur bangsa dan negara, maka segala usaha perlindungan terhadap anak harus dilaksanakan untuk menjamin hak dan kewajibannya agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang cerdas dan sehat memiliki budi pekerti luhur, berbakti kepada orang tua, dan bertaqwa kepada Tuhan.
Berkaitan dengan pernyataan bahwa anak mempunyai kedudukan yang strategis dalam penentuan bangsa, maka dalam Konsideran Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak pada point (a) menyebutkan bahwa:
Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.[1]
Keberadaan undang-undang pengadilan anak tersebut tidak lain adalah dalam rangka untuk lebih meningkatkan perlindungan dan penegakan terhadap hak-hak anak dalam proses peradilan pidana. Disamping itu pula keberadaanya adalah sebagai landasan hukum yang kuat untuk membedakan perlakuan terhadap anak yang terlibat suatu kejahatan dengan orang dewasa. Hal ini dikarenakan bahwa secara manusiawi memang harus dibedakan perlakuannya, sebab dilihat secara fisik dan pikirannya berbeda dengan orang dewasa.
Berkaitan dengan masalah kejahatan anak, maka seiring dengan kompleksitas Kota Jayapura, tampaknya tanpa disadari mempunyai pengaruh terhadap meningkatnya angka kriminalitas yang juga merembet pada anak-anak yang notabene adalah calon generasi bangsa yang diharapkan sebagai penerus tongkat pembangunan. Meningkatnya tindak kriminalitas yang terjadi akhir-akhir ini, khususnya di Kota Jayapura rupanya berbanding lurus dengan kriminalitas yang melibatkan usia yang tergolong masih anak-anak. Keadaan ini dapat terlihat dari banyaknya kasus-kasus tindak pidana, baik yang sedang dalam tahap penyidikan, persidangan, maupun yang telah diputus pengadilan.
Hal ini dibenarkan oleh Kepala Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II Jayapura Ny. S. Merahabia.[2] Selanjutnya ditegaskan pula bahwa pada Tahun 2002 sejak Januari hingga pertengahan November 2002, tercatat angka kriminalitas anak untuk kasus pencurian sebanyak 20 kasus, penganiayaan 7 kasus, pencabulan/perkosaan 6 kasus, dan kelalaian/lakalantas sebanyak 2 kasus, sehingga totalnya berjumlah 35 kasus.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka melakukan usaha pencegahan kejahatan anak adalah juga suatu usaha perlindungan terhadap keselamatan bangsa dan negara. Oleh karena itu persoalan tentang pencegahan kejahatan anak sebagai usaha perlindungan anak dipandang sebagai isu yang menarik untuk dibahas.
Analisis Masalah Anak
Keberadaan anak yang ada di lingkungan kita memang perlu mendapat perhatian, terutama mengenai tingkah lakunya. Dalam perkembangannya ke arah dewasa, kadangkala seorang anak melakukan perbuatan yang lepas kendali, yaitu melakukan perbuatan yang kurang baik sehingga dapat merugikan orang lain ataupun dirinya sendiri. Tingkah laku yang demikian disebabkan karena dalam masa pertumbuhan sikap dan mental anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari lingkungan pergaulannya. Sudah banyak terjadi karena lepas kontrol, kenakalan anak sudah meningkat menjadi kejahatan.
Menurut J.E. Sahetapy, kejahatan itu erat hubungannya dan bahkan menjadi sebagian dari hasil budaya itu sendiri, ini berarti semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka makin modern kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara pelaksanaannya.[3]
Paul Separovic mengemukakan adanya tiga faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan, yaitu (1) faktor personal, termasuk didalamnya faktor biologi (umur, jenis kelamin, keadaan mental) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan, dan keterasingan); (2) faktor sosial, misalnya faktor imigran, minorotas, dan pekerjaan; (3) faktor situasional, seperti situasi konflik, faktor tempat dan waktu.[4]
Adapun pengertian anak menurut Konvensi Hak-hak Anak (Convention on The Rights of The Child) diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada Tanggal 20 November 1989 dalam Pasal 1 adalah “setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak, kedewasaan dicapai lebih cepat”.[5]
Selanjutnya menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, bahwa yang dimaksud dengan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.[6]
Adapun yang dimaksud dengan anak nakal menurut Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, mempunyai dua pengertian, yaitu:
- Anak yang melakukan tindak pidana, ini dapat dipahami bahwa perbuatannya tidak terbatas kepada perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan KUHP saja melainkan juga melanggar peraturan-peraturan di luar KUHP antara lain undang-undang Narkotika dan Psikotropika. Oleh karena itu anak yang melakukan tindak pidana dapat diperkarakan melalui jalur hukum.
- Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, hal ini berarti terlarang baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.[7]
Selanjutnya Ninik Widiyanti dan Panji Aronaga mengemukakan bahwa terdapat beberapa alasan untuk mencurahkan perhatian yang lebih serius pada pencegahan sebelum kriminalitas dan penyimpangan lain dilakukan, yakni:
- Tindakan pencegahan adalah lebih baik daripada tindakan represif dan koreksi.
- Usaha pencegahan tidak perlu menimbulkan akibat yang negatif seperti antara lain: stigma, pengasingan, penderitaan, pelanggaran hak asasi dan permusuhan.
- Usaha pencegahan dapat pula mempererat persatuan, kerukunan dan meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap semua anggota masyarakat.[8]
Tindakan pencegahan kejahatan dimaksud khususnya kejahatan anak, berkaitan erat dengan memperkecil faktor-faktor pemicu terjadinya kejahatan anak melalui suatu lingkungan sosial yang kondusif bagi kehidupan sosial mereka di masyarakat. Tentang pencegahan kejahatan, M. Kemal Darmawan berpendapat bahwa:
Batasan tentang pencegahan kejahatan sebagai suatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan khusus untuk memperkecil luas lingkup suatu kejahatan, baik melalui pengurangan kesempatan-kesempatan untuk melakukan kejahatan ataupun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh yang potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum.[9]
Pendapat Sumaryanti tentang pengertian pencegahan kejahatan anak adalah bahwa:
Pencegahan merupakan suatu usaha dengan berbagai cara yang dapat dilakukan agar suatu kejahatan tidak terjadi, dengan sedapat mungkin dapat menyingkirkan sebab-sebab terjadinya kejahatan, sehingga tidak memberikan kesempatan untuk lahirnya seorang penjahat baru akibat suatu kondisi yang memungkinkan. Dengan demikian dapat dicegah adanya korban atau pelaku kejahatan.[10]
Penjahat adalah manusia, karenanya pencegahan harus dimulai sedini mungkin yakni mulai dari masa kanak-kanak. Guttmacher berpendapat, sebagaimana yang dikutip oleh G.W. Bawengan bahwa: “Dari sekian banyak penjahat, ternyata hubungan mereka pada masa kanak-kanak merupakan penyebab keterlibatan mereka masuk dunia kejahatan”.[11] Karena itu masalah pencegahan kejahatan harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan anak-anak jauh sebelum mencapai keremajaan mereka.
Pencegahan kejahatan dapat dilakukan dengan mengadakan usaha yang positif dengan mengurangi atau kalau bisa menghilangkan faktor-faktor pendukung perbuatan kriminal yang ada dan menambah faktor-faktor penghambat terjadinya kejahatan. Dalam melakukan pencegahan kejahatan anak yang merupakan salah satu bentuk dari usaha perlindungan anak, dan berarti juga perlindungan terhadap kehidupan bangsa di masa yang akan datang, faktor pendukung usaha pencegahan kejahatan anak harus mendapat perhatian yang utama. Lebih jauh lagi, mengingat pencegahan kejahatan anak melibatkan seluruh pihak dalam kehidupan bermasyarakat, maka pelaksanaannya harus dilakukan secara terpadu, baik oleh pemerintah maupun oleh swasta.
Menurut Arif Gosita, yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah:
Suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajiban. Adanya perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.[12]
Dalam konteks pencegahan kejahatan anak sebagai usaha perlindungan anak, yang menjadi pusat perhatian adalah segala kegiatan maupun usaha-usaha melakukan perlindungan anak dalam salah satu aspeknya, yaitu pencegahan kejahatan anak yang meliputi berbagai bidang kehidupan yang menyangkut kepentingan anak dan anggota masyarakat lainnya serta melibatkan partisipasi dari semua pihak.
Pencegahan dimaksud adalah usaha-usaha yang dilakukan dengan berbagai cara agar perbuatan kejahatan apapun tidak sempat dilakukan, dengan pengertian bahwa perlindungan tersebut adalah dengan menciptakan kondisi yang baik agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Karena pada dasarnya suatu pencegahan adalah lebih baik daripada melakukan perbaikan, penyembuhan maupun penindakan.
Berdasarkan petunjuk khusus tentang Operasi Penerangan INPRES Nomor 6 Tahun 1971 mengenai kenakalan remaja, usaha pencegahan (preventif) tersebut meliputi:
- Usaha-usaha pencegahan bersifat umum
- Usaha pembinaan remaja berupa:
- Pemberian pendidikan pranatal kepada orangtua terutama calon ibu anak,
- Pemberian pendidikan agama, pendidikan mental dan budi pekerti serta pengetahuan kecerdasan dan ketrampilan yang cukup kepada pribadi anak dalam keluarga,
- Pemberian pendidikan pribadi anak dalam sekolah, masyarakat.
- Pemberian pendidikan kepada pribadi anak dalam masyarakat.
- Usaha perbaikan lingkungan dan kondisi sosial yang ditujukan kepada tercapainya situasi dan kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak secara sehat:
- Usaha perbaikan dalam keluarga,
- Usaha perbaikan dalam sekolah,
- Usaha perbaikan dalam masyarakat.
- Usaha pengadaan sarana vital sebagai penunjang bagi usaha-usaha pembinaan pribadi anak dan usaha perbaikan lingkungan dan kondisi sosial.
- Usaha pembinaan remaja berupa:
- Usaha-usaha pencegahan yang bersifat khusus
- Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku dan perbuatan anak dan lingkungannya.
- Bimbingan dan penyuluhan secara intensif terhadap orangtua dan anak agar orangtua dapat membimbing dan mendidik anak-anaknya secara sungguh-sungguh dan cepat agar supaya anak tetap bertingkah laku yang wajar.
- Pendidikan khusus kepada anak yang sudah menunjukkan gejala-gejala kenakalan.[13]
Menyadari tingginya tingkat seriusitas dari kejahatan, maka secara langsung atau tidak langsung mendorong pula perkembangan dari pemberian reaksi terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan yang bersangkutan. Reaksi terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan pada hakikatnya berkaitan dengan maksud dan tujuan dari usaha pencegahan dan penanggulangan kejahatan.
Adapun yang dimaksudkan pencegahan terhadap kejahatan anak dalam pembahasan skripsi adalah merupakan suatu usaha dengan berbagai cara yang dapat dilakukan agar suatu kejahatan itu tidak terjadi, dengan sedapat mungkin dapat menyingkirkan sebab-sebab terjadinya kejahatan, sehingga tidak memberikan kesempatan untuk lahirnya seorang pelaku kejahatan yang baru akibat kondisi yang memuungkinkan. Oleh karena itu timbulnya korban atau pun pelaku kejahatan dapat dicegah.
Selanjutnya pencegahan kejahatan sebagai suatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil luas lingkup dan kekerasan suatu pelanggaran, baik melalui pengurangan kesempatan untuk melakukan kejahatan atau pun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh kepada orang-orang yang potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum.
Dalam melakukan pencegahan kejahatan anak yang merupakan salah satu bentuk dari usaha perlindungan anak dan berarti pula melindungi nusa dan bangsa. Oleh karena itu perlu diperhatikan faktor pendukung usaha pencegahan tersebut. Mengingat pencegahan kejahatan anak tersebut melibatkan seluruh pihak dalam kehidupan bermasyarakat termasuk keluarga, oleh karena itu pelaksanaannya harus dilakukan secara terpadu.
Secara resmi memang lembaga yang bertanggung jawab atas usaha pencegahan kejahatan adalah polisi. Namun karena terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki polisi telah mengakibatkan tidak efektifnya tugas tersebut. Lebih jauh, polisi juga tidak mungkin akan mencapai tahap ideal pemenuhan sarana prasarana yang berkaitan dengan usaha pencegahan kejahatan. Oleh karena itu peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan kejahatan menjadi hal yang sangat diharapkan oleh polisi.
Masalah Perempuan dalam Hukum
Pendahuluan
Berbicara masalah norma dan sanksi, tidak dapat dilepaskan dari masalah kejahatan. Menurut J.E. Sahetapy, bahwa kejahatan erat hubungannya bahkan menjadi sebagaian dari hasil budaya sendiri. Ini berarti semakin tinggi tingkat budaya dan semakin modern suatu bangsa, maka semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara pelaksanannya. Dengan demikian berarti bahwa setiap masyarakat akan selalu ada kejahatan begitu pula sebaliknya.[14]
Hal ini tidaklah berarti bahwa kejahatan akan dibiarkan merajalela, namun perlu dicegah serta ditanggulangi untuk mengurangi intensitas kejahatan itu sendiri. Kejahatan di masyarakat selalu menimbulkan korban, baik korban dalam bentuk fisik maupun non fisik. Demikian pula bahwa yang menjadi kejahatan tidak hanya menimpa kaum pria saja, tetapi tidak sedikit pula yang menjadi korban adalah perempuan.
Berkaitan dengan masalah kejahatan perempuan dalam kedudukannya dapat dikategorikan sebagai pelaku kejahatan (offender), korban kejahatan (victim of crime), dan dapat pula sebagai penegak hukum (law enforcement ogent).
Perempuan sebagai pelaku kejahatan, antara lain dalam kasus pembunuhan orok (infaticide), pengguguran (abortus), dan pelacuran (prostitution). Perempuan sebagai korban kejahatan, terjadi dalam kasus perkosaan (rape), perdagangan perempuan, penganiayaan, perbuatan cabul, dan kejahatan kesusilaan lainnya. Sedangkan perempuan sebagai penegak hukum, dalam hal ini perempuan antara lain dapat bertindak sebagai polisi, jaksa, hakim, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan.
Suatu kejahatan paling tidak melibatkan dua pihak, yaitu pihak pelaku kejahatan dan pihak korban kejahatan. Meskipun ada kemungkinan terhadap beberapa bentuk kejahatan yang terjadi tanpa peranan korban, namun hal ini tidaklah menutup kenyataan bahwa peranan korban sedikit banyak menentukan dalam hal terjadinya kejahatan. Secara logika tidak ada orang yang ingin menjadi korban dari suatu kejahatan, tetapi dalam kondisi tertentu dapat menyebabkan calon korban berperan serta, sehingga terjadilah kejahatan yang korbannya adalah ia sendiri.
Pihak korban dalam situasi dan kondisi tertentu dapat pula mengundang pihak pelaku untuk melakukan kejahatan pada dirinya akibat sikap dan tindakannya, misalnya sengaja memamerkan bagian-bagian tubuh tertentu yang dapat mengundang atau merangsang terjadinya kejahatan perkosaan yang didukung oleh situasi yang sepi dan gelap.
Melihat kondisi yang demikian, maka jenis kejahatan dan perkembangannya, serta usaha penanggulangan kejahatan terhadap perempuan harus dilakukan baik pada pihak korban atau calon korban karena juga merupakan pihak yang terlibat dalam terjadinya kejahatan.
Analisis Masalah Korban Kejahatan yang Melibatkan Perempuan
Masalah korban bukan merupakan masalah yang baru, melainkan masalah korban itu selalu ditemukan dalam kejahatan apapun yang dilakukan oleh seorang atau beberapa orang. Dimana satu pihak yang menderita disebut sebagai korban, sedangkan pihak pembuat korban disebut pelaku. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.[15] Mereka ini dapat berarti individu atau kelompok, baik swasta atau pemerintah.
Berhubung masalah korban adalah masalah manusia, maka wajarlah apabila kita berpegangan pada pandangan yang tepat mengenai manusia serta eksistensinya. Dengan pandangan atau pengertian yang tepat mengenai manusia, maka dimungkinkan kita dapat bersikap dan bertindak tepat dalam menghadapi manusia yang ikut serta dalam terjadinya atau lahirnya si pembuat korban tindak pidana dan si korban dalam menentukan tanggung jawabnya masing-masing. Penderitaan si korban adalah hasil interaksi antara si pembuat korban dan si korban, saksi (bila ada), badan-badan penegak hukum dan anggota masyarakat.
Dengan adanya kesadaran bahwa si korban dan pembuat korban itu adalah manusia yang sama martabatnya dengan kita dan ada bersama dengan kita dalam suatu ikatan kelompok masyarakat, bangsa dan dunia, maka kita akan lebih waspada dalam bersikap dan bertindak terhadap para pembuat korban dan korban demi keadilan, kepentingan dan hak asasi mereka. Dengan demikian akan dapat dicegah terjadinya atau lahirnya lebih banyak lagi korban yang tidak diinginkan, antara lain oleh si korban baik karena simpati atau karena harus melaksanakan tugas dalam jabatan tertentu.
Adapun mereka yang terlibat dalam kejahatan, adalah:
- Pihak-pihak pelaku kejahatan, korban kejahatan.
- Pembuat undang-undang pidana yang merumuskan, menentukan macam perbuatan apa saja yang merupakan suatu kejahatan.
- Kepolisian yang mengusut, mulai menguatkan adanya kejahatan.
- Kejaksaan yang menuntut, menguatkan dan berusaha membuktikan terjadinya kejahatan (antara lain dengan memanfaatkan pihak korban sebagai saksi).
- Kehakiman yang memutuskan ada atau tidak adanya suatu kejahatan.
- Petugas pembinaan dan pelaksanaan hukuman terhadap pelaku kejahatan.
- Pengamat atau penyaksi yang mengamati dan menyaksikan terjadinya suatu kejahatan, yang pada hakekatnya juga mempunyai peranan dalam terjadinya atau tidak terjadinya suatu kejahatan karena tindakan penyaksi yang bersifat mencegah atau membiarkan kelangsungan kejahatan tersebut.
Semakin bertambahnya jumlah kasus kejahatan, baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas, termasuk diantaranya kejahatan yang korbannya perempuan memerlukan pula penanganan yang serius dari pihak-pihak yang berkompeten guna mencegah terjadinya kejahatan tersebut.
Menurut G.P. Hoefnagels sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan 3 (tiga) upaya, yaitu:
- Penerapan hukum pidana (criminal law application);
- Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan
- Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).[16]
Dari pendapat tersebut maka upaya penanggulangan kejahatan dapat dikategorikan melalui jalur penal (pemberdayaan hukum pidana) yang penekanannya diarahkan pada upaya represif/penindakan dan korektif, serta jalur non-penal (opini masyarakat dan media massa) yang bersifat preventif atau pencegahan.
Adapun tentang jalur non-penal, Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa:
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non-penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.[17]
Adapun bentuk-bentuk atau dimensi kejahatan terhadap perempuan dapat dilakukan pembagian sebagai berikut:
Dimensi fisik, mencakup tindakan memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau alat/senjata, membunuh.
Dimensi Psikologis, mencakup berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit dan memata-matai, tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak, suami, teman dekat).
Dimensi seksual, yaitu melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan/atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban, dengan kekerasan fisik maupun tidak, memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau melukai korban.
Dimensi finansial, yaitu mengambil uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya, semuanya dengan maksud untuk dapat mengendalikan tindakan korban.
Dimensi spiritual, meliputi merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa korban mempraktekkan ritual dan keyakinan tertentu.[18]
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perempuan dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1984, tetapi diskriminasi terhadap perempuan tetap berlangsung tanpa ada sanksi yang jelas bagi yang melanggarnya. Oleh karena itu perlu disadari bahwa mengadakan lobi tentang penerapan instrumen internasional hanya bisa efektif jika terakar dalam pengalaman hidup sehari-hari perempuan dan tercermin dalam kegiatan organisasi yang peduli terhadap hak asasi perempuan.
Apabila ditelaah dari sisi psikologi, ada tiga penjelasan besar mengenai terjadinya kejahatan terhadap perempuan, yaitu:
Pertama, penjelasan yang mengarah ke kondisi internal, karekteristik pribadi atau psikopatologi pelaku kekerasan, yang menyebabkan kekerasan kemudian terjadi. Misalnya bahwa kekerasan dilakukan oleh orang-orang yang terganggu, tertekan, memiliki banyak konflik dan masalah, yang kemudian direspon dengan cara melakukan kekerasan pada orang-orang di sekitarnya.
Kedua, penjelasan yang mengarah ke alasan-alasan yang dilekatkan pada karekteristik pribadi korban kekerasan. Masuk dalam bagian ini adalah penjelasan bahwa kejadian kekerasan diprovokasi oleh korban. Misalnya dengan tingkah lakunya yang mengundang, atau bahwa korban memiliki karakteristik kepribadian tertentu yang menyebabkan mudah mengalami kekerasan.
Ketiga, penjelasan yang mengarah pada feministik, yaitu kekerasan terhadap perempuan merupakan produk struktur sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan menomorsatukan kepentingan dan perspektif laki-laki, sekaligus menganggap perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah dan kuranbg bernilai dibandingkan laki-laki.
Apabila anggapan umum menyatakan bahwa tempat yang berbahaya adalah di luar rumah, bagi perempuan faktanya tidak demikian. Perempuan justru lebih dilukai dan mengalami kekerasan dalam lingkup personal, baik dalam kaitannya dengan peranannya sebagai isteri atau anggota keluarga lain (misalnya anak, adik ipar). Meskipun demikian jenis kekerasan dalam rumah tangga merupakan kekerasan yang sangat sulit diungkap antara lain karena:
- Cukup banyak pihak menganggap hal demikian lumrah saja (bahkan menjadi bagian dari pendidikan yang dilakukan suami isteri).
- Konflik dalam rumah tangga sangat sering dilihat sebagai masalah intern keluarga yang tidak boleh dicampuri orang lain.
- Pelaku maupun korban sangat sering menutup-nutupi kejadian yang sesungguhnya dari orang lain dengan alasan yang berbeda. Pelaku menganggap bahwa apa yang terjadi adalah urusan keluarga dan hak pribadinya, orang lain tidak perlu tahu dan tidak berhak campur tangan, sementara korban merasa sangat malu dengan hal yang terjadi, akan kehilangan kehormatannya bila sampai aibnya terbuka.
Referensi
Gatot Suparmono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2000.
Harian Cenderawasih Pos, Selasa, 26 November 2002.
J.E. Sahetapy, Kriminologi Suatu Pengantar, Aditya Bakti, Bandung, 1992.
Made Darma Weda, Kriminologi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996.
Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.
Ninik Widiyanti dan Panji Aronaga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya Ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986.
Mohammad Kemal Darmawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.
G.W. Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, PT. Prdnya Paramita, Jakarta, 1991.
Arif Gosita, Beberapa Permasalahan Pelaksanaan Perlindungan anak, Makalah dalam Seminar Nasional Perlindungan Anak, Jakarta, 1982.
J.E. Sahetapy, Kriminologi Suatu Pengantar, Aditya Bakti, Bandung, 1992.
Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bahan Seminar Kriminologi VI, Semarang, 1991.
Barda Nawawi Arief, Penanggulangan Kejahatan, PT. Eresco, Bandung, 1991.
[1]Gatot Suparmono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2000, h.133.
[2]Harian Cenderawasih Pos, Selasa, 26 November 2002, h.5.
[3]J.E. Sahetapy, Kriminologi Suatu Pengantar, Aditya Bakti, Bandung, 1992, h.34.
[4]Made Darma Weda, Kriminologi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996, h.106-107.
[5]Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, h.135.
[6]Ibid, h.172.
[7]Gatot Supramono, Op.cit., h.21.
[8]Ninik Widiyanti dan Panji Aronaga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya Ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial, Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, h.138.
[9]Mohammad Kemal Darmawan, Strategi Pencegahan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, h.4.
[10]Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, h. 180.
[11]G.W. Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, PT. Prdnya Paramita, Jakarta, 1991, h. 189.
[12]Arif Gosita, Beberapa Permasalahan Pelaksanaan Perlindungan anak, Makalah dalam Seminar Nasional Perlindungan Anak, Jakarta, 1982, h. 7.
[13]Andi Hamzah, Op. Cit., h. 183-184.
[14]J.E. Sahetapy, Kriminologi Suatu Pengantar, Aditya Bakti, Bandung, 1992, h.34.
[15]Ibid., h.41.
[16]Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bahan Seminar Kriminologi VI, Semarang, 1991, h.2.
[17]Barda Nawawi Arief, Penanggulangan Kejahatan, PT. Eresco, Bandung, 1991, h.3.
[18]Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Kelompok Kerja “Convention Watch” Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas Indonesia, Jakarta, 2000, ha.11-12.