PERUMUSAN DELIK
Di dalam Buku II dan III KUUHP Indonesia terdapat pelbagai cara atau teknik perumusan delik, yang menguraikan perbuatan melawan hukum yang dilarang atau yang diperintahkan untuk dilakukan, dan kepada barang siapa yang melanggarnya atau tidak menaatinya diancam dengan pidana maksimum. Selain unsur-unsur perbuatan yang dilarang dan yang diperintahkan untuk dilakukan dicantumkan juga sikap batin yang harus dipunyai oleh pembuat delik agar ia dapat dipidana, dengan kata lain rumusan KUUHP berdasarkan pandangan monistis terhadap delik, yang berbeda dengan teknik perumusan KUUHP Swiss dan KUUHP Yugoslavia seperti telah penulis uraikan.
Teknik yang paling lazim digunakan untuk merumuskan delik menurut Jonkers (terjemahan Bina Aksara 1987 : 136 – 137) ialah dengan menerangkan atau menguraikannya, misalnya rumusan delik menurut pasal 279, 281, 286, 242 KUUHP. Dari keterangan atau uraian itu dapatlah diketahui unsur-unsur delik. Cara yang kedua ialah pasal undang-undang tertentu menguraikan unsur-unsur delik, lalu ditambahkan pula kualifikasi atau sifat dan gelar delik itu, misalnya pemalsuan tulisan (pasal 263 KUUHP), pencurian (pasal) 362 KUUHP), penggelapan (pasal 372 KUUHP), penipuan (pasal 378 KUUHP).
Cara yang ketiga ialah pasal undang-undang tertentu hanya menyebut kualifikasi (sifat, gelar) tanpa uraian unsur-unsur perbuatan lebih lanjut. Uraian unsur-unsur delik diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrin. Misalnya perdagangan perempuan dan perdagangan laki-laki yang belum cukup umur (minderjarige), penganiayaan (pasal 351 KUUHP). Kedua pasal terscbut tidak menjelaskan arti perbuatan tersebut. Menurut teori dan yurisprudensi, penganiayaan diartikan sebagai “menimbulkan nestapa atau derita atau rasa sakit (pijn) pada orang lain. Di dalam pasal 351 (4) KUUHP oleh pembuat undang-undang arti penganiayaan dianalogkan dengan, “dengan sengaja merusak kesehatan”. Arti “perdagangan laki-laki atau perempuan yang belum cukup umur” hingga sekarang belum ditemukan menurut Moeljatno (1983 ; 65). Hanya istilah minderjarige ditetapkan di dalam Staasblad 1931 No. 54, bahwa jikalau undang-undang pidana tidak menyebut usia tertentu maka yang dimaksud ialah orang yang belum cukup umur menurut pasal 330 BW bagi mereka yang tunduk dibawah BW (KUUHPerdata, lebih tepat: KUUH Privaat) dan yang belum mencapai usia 21 tahun.
Ada juga pasal undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan yang melawan hukum saja, sehingga sering dinamakan delik formil (formele delicten) atau delik yang dirumuskan secara formil, sedangkan akibat perbuatan itu tidak disyaratkan adanya untuk menjatuhkan pidana bagi barang siapa yang mewujudkan kelakuan tersebut. Misalnya pasal 362 KUUHP merumuskan kelakuan yang dilarang yaitu mengambil barang yang seluruhnya atau sebagiannya kepunyaan orang lain. Namun kelakuan mengambil saja tidak cukup untuk memidana seseorang, diperlukan pula keadaan yang menyertai pengambilan itu “adanya maksud pengambil untuk memilikinya dengan melawan hukum”.
Unsur delik ini dinamakan unsur melawan hukum yang subyektif, yaitu kesengajaan pengambil barang itu diarahkan ke perbuatan melawan hukum, sehingga menjadi unsur obyektif bagi para sarjana hukum yang berpandangan monistis terhadap delik, atau merupakan unsur actus reus, criminal act, perbuatan kriminal bagi yang berpandangan dualistis terhadap delik. Perlu penulis tegaskan bahwa kata maksud di sini tidak sama pengertiannya dengan perkataan “dengan sengaja dan melawan hukum” dalam pasal 406 KUUHP. Kata “sengaja” di sini harus diartikan dolus dalam tiga jenis coraknya, sedangkan kata “melawan hukum” terlepas dari kata “dengan sengaja” dan merupakan unsur perbuatan kriminal, karena antara kata “sengaja” dan “melawan hukum” diantara oleh kata dan (jadi berdiri sendiri).
Ada pun delik yang dirumuskan secara materiil dan sering disebut delik materiil (bukan delik material, karena bukan delik yang menyangkut kebendaan, tetapi materiil yang diartikan dengan substantif) yang menjadi syarat untuk dipidananya membuat delik ialah terwujudnya akibat, misalnya penganiayaan (pasal 351 KUUHP) mensyaratkan akibat menderita sakitnya korban. Delik pembunuhan (pasal 338 KUUHP) mensyaratkan matinya korban.
Selain itu, Moeljatno (1985 : 69) berpendapat bahwa ada juga rumusan campuran yaitu yang formil-materiil, yang berarti bahwa yang menjadi pokok bukan saja caranya berbuat tetapi juga akibatnya. Contohnya adalah pasal 378 KUUHP, yang bunyinya adalah sebagai berikut:
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau kedudukan (hoedanigheid) palsu; dengan tipu muslihat, atau pun rangkaian kata-kata bohong, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi ulang atau pun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Akibat yang dilarang ialah bahwa orang ditipu tergerak hatinya dan menyerahkan barang kepada orang yang menipu atau memberi utang atau pun menghapuskan piutang adalah jelas rumusan yang materiil. Selama orang yang ditipu belum, menyerahkan barang dan seterusnya, maka belum terjadi delik penipuan. Mungkin yang terwujud ialah delik percobaan untuk menipu menurut pasal 53 KUUHP. Pasal 378 menyebut secara limitatif cara menggerakkan hati korban. Selama bukan salah satu cara tersebut yang digunakan oleh orang yang mau menipu, maka tidak terjadi penipuan atau percobaan untuk menipu. Salah satu cara yang disebut haruslah digunakan di antara semua cara yang disebut, yaitu memakai nama palsu, kedudukan palsu, tipu muslihat, rangkaian perkataan bohong. Menurut Moeljatno rumusan itu bersifat formil (bukan formal menurut penulis).
Selain itu, terdapat delik yang memerlukan syarat tambahan untuk dapat dipidananya pembuat delik (bijkomende voorwaarden der strafbaarheid). Misalnya pasal 288 (1) KUUHP mensyaratkan bahwa suami yang menyetubuhi istri yang diketahui (= kesengajaan) atau sepatutnya harus menduga (culpa lata yang disadari atau alpa) belum masanya untuk dikawininya barulah dapat dipidana jikalau perbuatannya mengakibatkan luka. Kalau isterinya itu luka berat maka sanksi maksimum yang dapat dijatuhkan dinaikkan dan empat tahun menjadi delapan tahun. Jika mengakibatkan kematian, menjadi 12 tahun penjara. Untuk delik-delik mengenai kepailitan (fallisement) menurut pasal 396 KUUHP dan seterusnya pembuat delik barulah dapat dipidana kalau diikuti oleh keadaan pailit. Seorang pembuat delik pelanggaran menurut pasal 531 KUUHP yang menyaksikan seseorang dalam keadaan bahaya maut, yang mengancam saat itu, tidak memberikan pertolongan kepadanya, sedang pertolongan itu dapat diberikan-nya tanpa khawatir akan adanya bahaya bagi diri sendiri atau orang lain, barulah dapat dijatuhi pidana apabila mengakibatkan kematian orang yang memerlukan pertolongan itu. Syarat tambahan tersebut di atas terdapat pula di dalam pasal 164 dan pasal 165 KUUHP yang menyatakan bahwa orang yang mengetahui permufakatan jahat dan kejahatan tersebut pada pasal 104 KUUHP dan seterusnya dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada orang yang terancam barulah dapat dipidana kalau betul-betul terjadi kejahatan itu.
Menurut Jonkers (1987 : 138) bahwa yang aneh tentang ketentuan tersebut ialah bahwa apabila tidak dipenuhi syarat tambahan itu, maka juga orang yang melakukan percobaan kejahatan tersebut tidak dapat dipidana, sedangkan unsur-unsur lain apabila tidak dipenuhi masih memungkinkan adanya percobaan kejahatan menurut pasal 53 KUUHP.
Syarat-syarat untuk dapat dipidananya pembuat delik harus dibedakan dengan syarat-syarat dapat dituntutnya pembuat delik, misalnya penerapan pasal 2 – 9 KUUHP, cara mengajukan pengaduan jika terjadi delik aduan, perbuatan yang belum lampau waktu, ne bis in idem (pasal 76 KUUHP), dan lain-lain.
Selain itu, ada juga delik yang terhadapnya pembuat dapat dipidana dan kalau terjadi keadaan yang tidak disengajanya, dapat memperberat pidana. Keadaan ini sering disebut keadaan yang secara obyektif memperberat pidana. Misalnya pasal 351 KUUHP mengancam pidana bagi barang siapa yang menganiaya orang lain. Dalam hal demikian kesengajaan pembuat delik ditujukan kepada penganiayaan. Jikalau akibat tersebut melebihi daripada yang disengaja, misalnya luka berat maka menurut pasal 351 (2) KUUHP pembuat delik diperbcrat pidananya menjadi lima tahun penjara. Jika korban mati, maka menurut pasal 351 (3) KUUHP pembuat dapat dipidana maksimum selama tujuh tahun penjara. Dalam hal ini luka berat dan kematian orang lain tidak disengaja oleh pelaku delik, tetapi akibat itu secara obyektif terwujud. Kalau pelaku penganiayaan itu mempunyai kesengajaan (dapat terdiri alas liga corak) untuk mengÂaniaya berat, maka ia dapat dipidana berdasarkan pasal 354 KUUHP dan bukan pasal 351 (2) KUUHP yaitu penganiayaan yang diikuti oleh akibat. Akibat yang tidak dikehendaki, bahkan yang tidak dapat dibayangkan mungkin akan terjadi (dolus eventualis) itulah yang disebut keadaan yang secara obyektif memperberat pidana ex pasal 351 (3) KUUHP. Kesengajaan dalam hal ini diobyektifkan atau dinormatifkan. Penganiaya harus memikul risiko karena perbuatannya yang menganiaya sekalipun tidak disengajanya. Unsur keadaan yang secara obyektif memperberat pidana dapat dibaca juga dalam pasal 353 (2), 353 (3), 354 (2) dan 355 (2) KUUHP.