Perlindungan Hak Tersangka Pada tahap Penyidikan
Pendahuluan
Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) memiliki sejarah panjang yang dimulai dari martabat alamiah dan hak-hak kemanusiaan yang sama dan tidak dapat dicabut. Pengakuan martabat dan hak-hak tersebut merupakan dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia. Kita melihat HAM sebagai sesuatu yang vital untuk menjaga kehidupan manusia tetap manusiawi dan menjaga hak yang paling berharga, yaitu hak untuk menjadi manusia (O.C. Kaligis, 2006:5). Perlindungan HAM pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa) menjadi lebih penting dalam memasuki era globalisasi, karena negara memiliki tanggung jawab global dalam bidang pencegahan dan perlakuan terhadap tersangka/terdakwa agar tidak diperlakukan secara sewenang-wenang, dan tidak dilanggar hak-haknya, karena hak tersebut merupakan bagian dari HAM yang harus dilindungi.
Ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang jaminan dan perlindungan HAM dikenal dengan sebutan “the International Bill of Human Rights”, yang meliputi:
- Universal Declaration of Human Rights (diterima oleh sidang umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948);
- International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (diterima pada tanggal 16 Desember 1966 dan baru berlaku 3 Januari 1976);
- International Covenant on Civil and Political Right (diterima pada tanggal 16 Desember 1966 dan baru berlaku 23 Maret 1976); dan
- Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights (diterima pada tanggal 16 Desember 1966 dan baru berlaku 23 Maret 1976). (Mardjono Reksodiputro, 1994:2).
Secara universal, masyarakat dunia mengakui bahwa setiap manusia mempunyai sejumlah hak yang menjadi miliknya sejak keberadaannya sebagai manusia diakui, sekalipun sejak keberadannya sebagai manusia ke dunia ini. Hak-hak tersebut melekat pada diri setiap manusia, bahkan membentuk harkat manusia itu sendiri sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan Universal Declaration of Human Rights (selanjutnya disingkat UDHR). UDHR antara lain mengakui dan melindungi hak setiap orang dari penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang, setiap orang dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan bersalah secara sah, setiap orang tidak boleh diganggu privasi, keluarganya, rumah dan surat-menyuratnya, dan jika hak asasi yang diberikan kepadanya berdasarkan undang-undang dilanggar, maka harus ada upaya yang dapat memulihkan haknya melalui pengadilan.
International Covenant on Civil and Political Right (disingkat ICCPR) khususnya Pasal 9 dan Pasal 14 ICCPR, antara lain mengakui dan melindungi hak setiap orang dari penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang, hak setiap orang yang ditangkap untuk diberitahu mengenai alasan penangkapannya, hak setiap orang yang ditangkap atau ditahan untuk segera dihadapkan ke depan pengadilan, hak setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah untuk mendapat ganti kerugian, hak setiap orang diperlakukan sama di hadapan pengadilan. Dan dalam Pasal 14 ayat (3) ICCPR secara tegas menyebutkan bahwa setiap orang yang ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa mempunyai hak untuk diproses dan diadili secepatnya. Penundaan tanpa alasan seharusnya tidak boleh terjadi, karena hal ini berarti melanggar hak asasi tersangka/terdakwa. Hak-hak yang diakui dan dilindungi dalam UDHR dan ICCPR tersebut bersifat universal, dan dalam kenyataannya diakui juga dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (disingkat KUHAP).
Sejak diberlakukannya KUHAP, maka para tersangka/ terdakwa diberikan hak untuk melindungi dirinya dari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52 KUHAP), hak untuk mendapat bantuan hukum pada waktu dan setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54 KUHAP), hak untuk diberitahukan tentang penahanan atas dirinya (Pasal 59 KUHAP), hak untuk mengusahakan saksi yang meringankan (Pasal 65 KUHAP), dan hak untuk tidak dibebani pembuktian (Pasal 66 KUHAP) merupakan sebagian dari hak-hak yang dicantumkan dalam (KUHAP).
Hak-hak yang diatur dalam KUHAP tersebut sebenarnya sudah cukup memberikan perlindungan bagi tersangka/terdakwa jika dibandingkan dengan hukum acara pidana pada masa penjajahan Belanda yaitu Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR). Namun dalam kenyataannya masih sering ditemui pelanggaran hak yang dilakukan oleh aparat penegak hukum baik di tingkat penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan. Sejumlah pelanggaran yang terjadi menandakan bahwa ada kecenderungan aparat penegak hukum dalam memeriksa tersangka/ terdakwa masih menerapkan cara-cara yang dianut oleh HIR, yaitu sistem pemeriksaan inquisitoir. Sistem ini menganggap tersangka sebagai obyek pemeriksaan, sehingga ada kecenderungan penyidik untuk mendorong tersangka supaya mengaku bersalah. Sistem pemeriksaan inquisitoir dalam pemeriksaan oleh Polisi tetap berlaku, padahal pemeriksaan dengan sistem ini jelas melanggar HAM. Jadi pemerintah dalam hal ini tetap melegitimasi pelaksanaan sistem pemeriksaan yang jelas-jelas melanggar HAM khususnya bagi tersangka. (Wirjono Prodjodikoro, 1981:18-19).
Berbagai tindakan menyimpang yang dilakukan oleh pejabat penyidik (Polri) dalam bentuk kekerasan dan penyiksaan, kenyataannya tidak diatur secara tegas di dalam KUHAP. KUHAP hanya menentukan adanya suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji keabsahan penyidikan, yaitu lembaga praperadilan (Pasal 77 sampai Pasal 83 KUHAP). Keberadaan lembaga praperadilan tersebut dalam prakteknya hanya menerima alasan-alasan teknis yuridis, misalnya ditangkap atau ditahan tanpa surat, dan penghentian penyidikan tanpa alasan yang sah. Oleh karena itu keberadaan lembaga praperadilan ini tidak dapat menjangkau penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan aparat penyidik yang secara langsung merendahkan harkat dan martabat manusia, yaitu tindakan kekerasan, intimidasi, pemaksaan yang dilakukan penyidik terhadap tersangka.
Kekerasan dan pemaksaan terhadap tersangka/terdakwa dalam proses peradilan sangat sulit dibuktikan. Apalagi seringkali tindakan kekerasan dan penyiksaan fisik itu tidak meninggalkan bekas, demikian pula terhadap kekerasan dan penyiksaan yang menyebabkan penderitaan secara psikis. Oleh karena itu harus diakui bahwa KUHAP masih memiliki kekurangan dan kelemahan, hal ini telah menimbulkan banyak permasalahan dalam penegakan hukum pidana baik dalam tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap persidangan.
Berdasarkan uraian tersebut terlihat ada kesenjangan antara tataran teoretik perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa dengan implementasinya pada tahap proses penyidikan, penuntutan dan persidangan. Oleh karena itu pengkajian terhadap persoalan ini perlu dilakukan untuk mendapatkan konsep metode dan sistem yang dapat dijadikan dasar bagi pemecahan masalah perlindungan HAM pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa) dalam proses peradilan pidana.
Rumusan Masalah
- Bagaimanakah pengaturan HAM pelaku tindak pidana dalam perundangan–undangan di Indonesia saat ini?
- Bagaimanakah implementasi perlindungan HAM pelaku tindak pidana pada pemeriksaan tingkat penyidikan?
Pembahasan
Hak-hak tersangka dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia telah secara resmi mendapatkan pengakuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP. Selain dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP tersebut, secara implisit beberapa hak lainnya juga diatur dalam beberapa pasal dalam KUHAP. Hak-hak tersangka yang tercantum dalam KUHAP dapat disebutkan sebagai berikut:
- Hak tersangka untuk segera mendapat pemeriksaan dengan segera (Pasal 50 ayat (1));
- Hak tersangka perkaranya segera diajukan ke pengadilan (Pasal 50 ayat (2));
- Hak tersangka untuk mempersiapkan pembelaan dan diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 huruf a);
- Pada tingkat penyidikan tersangka berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik (Pasal 52);
- Hak tersangka untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa (Pasal 53 ayat (1)), dan dalam hal tersangka bisu atau tuli (Pasal 53 ayat (2));
- Hak mendapat bantuan hukum dari penasihat hukumnya selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54);
- Hak tersangka untuk memilih sendiri penasihat hukumnya (Pasal 55);
- Hak tersangka untuk mendapat penasihat hukum yang ditunjuk, dalam hal tidak mempunyai penasihat hukum sendiri dengan disangka/didakwa melakukan tindak pidana yang diancam hukuman mati, pidana lima belas tahun atau lebih, tersangka tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih (Pasal 56 ayat (1), dan hak mendapat bantuan hukum secara cuma-cuma Pasal 56 ayat (2);
- Hak tersangka yang ditahan untuk menghubungi penasihat hukumnya (Pasal 57 ayat (1);
- Hak untuk menerima kunjungan dokter pribadi (Pasal 58);
- Hak untuk diberitahukan tentang penahanan atas dirinya pada semua tingkat pemeriksaan kepada keluarganya (Pasal 59);
- Hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan keluarga guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan atau usaha mendapatkan bantuan hukum (Pasal 60);
- Hak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima kunjungan keluarga dalam kaitan kepentingan pekerjaan (Pasal 61);
- Hak mengirim surat kepada penasihat hukum dan menerima surat dari penasihat hukum atau sanak keluarganya (Pasal 62 ayat (1));
- Hak menghubungi dan menerima kunjungan dari rohaniawan (Pasal 63);
- Hak untuk mengusahakan atau mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang dapat menguntungkannya (Pasal 65);
- Hak tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66);
- Hak tersangka untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi (Pasal 68);
Selain dari hak-hak tersangka yang diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP tersebut, perlindungan atas hak-hak tersangka ini juga diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, yaitu:
Setiap orang, yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan Pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. (Satjipto Rahardjo, 1992:167-168).
Berdasarkan ketentuan di atas, maka seseorang yang menjadi tersangka harus diberikan hak-hak sebagai bentuk perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi yang dimiliki. Prinsip ini ditinjau dari segi teknis juridis atau teknis penyidikan dinamakan “Prinsip akusatoir”, yaitu menempatkan kedudukan tersangka sebagai subjek dan bukan sebagai objek dalam setiap tingkat pemeriksaan. Sehingga ia harus diperlakukan dan dilindungi dari tindakan kesewenang-wenangan yang menjurus pada pengabaian kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan harga diri.
Hak-Hak Tersangka Yang Belum Diatur Dalam KUHAP
Berdasarkan hak-hak tersangka yang diatur dalam instrumen internasional, maka ada hak-hak yang belum dimasukkan secara jelas dalam KUHAP. Hak-hak tersebut adalah:
- Hak untuk tidak ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang.
- Hak untuk tidak dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman yang kejam tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
- Hak untuk mendapatkan keamanan atau keselamatan pribadi.
- Hak untuk mendapatkan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaannya.
- Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan lainnya.
- Hak untuk tidak diganggu kehidupan pribadi, keluarga, rumah tangga atau hubungan surat menyuratnya, kehormatan dan nama baiknya.
Pada prinsipnya KUHAP haruslah menyerap beberapa ketentuan tentang HAM, terutama hak-hak untuk memperoleh perlindungan dari tindakan-tindakan tidak sah, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Pasal 50 KUHAP telah secara jelas memberikan hak kepada tersangka untuk segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan kepada penuntut umum, tetapi jika dicermati kenyataannya tidak cukup memberikan jaminan terhadap keselamatan diri tersangka dari tindakan yang bertentangan dengan prinsip HAM.
PENUTUP
- Pengaturan HAM pelaku tindak pidana dalam perundangan–undangan di Indonesia saat ini secara normatif telah mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum. Pengaturan HAM ditegaskan dalam Perubahan Kedua UUD 1945 Tahun 2000, yang diatur dalam bab tersendiri yaitu Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari 10 Pasal mulai Pasal 28A-28J. Selain di dalam UUD 45, perlindungan terhadap hak warga negara dijamin di dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Implementasi perlindungan HAM pelaku tindak pidana pada pemeriksaan tingkat penyidikan masih belum dilaksanakan dengan maksimal karena masih ada sejumlah hak yang dilanggar dan tidak sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP.
DAFTAR PUSTAKA
Literatur:
Soeharto, 2007, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme: Dalam Sistem Peradilan Pidana, PT Refika Aditama, Bandung.
Hadi Setia Tunggal, 2000, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Harvarindo, Jakarta.
Harkristuti Harkrisnowo, Kompilasi Perangkat Internasional Tentang Hak Asasi Manusia, Perangkat Universal United Nations, Jakarta, 1999.
Majda El-Muhtaj, 2009, Dimensi-dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Rajawali Pers, Jakarta.
————–, 2009, Hak Asasi Manusia dalam Kostitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai dengtan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Kencana, Jakarta.
Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta.
Marzuki Darusman, 1996, “Penegakan HAM dalam Negara Hukum (berdasarkan) Pancasila”, Team Laboratorium Pancasila IKIP Malang (ed.), Konsepsi Hak-HAM Berdasarkan Pancasila menyongsong Era Globalisasi, Suatu Alternatif Pemikiran, Usaha Nasional, Surabaya.
Mien Rukmini, 2003, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung.
Miriam Budiarjo, 1988, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT gramedia, Jakarta.
O.C. Kaligis, 2006, Perlindungan Hukum Asat Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, PT Almuni, Bandung.
Satjipto Rahardjo, 1992, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia , Jakarta.
Suparman Marzuki, dkk. (ed.), 1996, Penyiksaan Dalam Anarki Kekuasaan, FH Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung.
Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, & Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung.
Makalah/Jurnal/Buletin/Majalah/Koran
Hak Asasi Dalam Tajuk, 1997, Institut Ecata-INPI-Pact, Jakarta.
United Nations Publication, 1987, Human Rights, Questions and Answers, New York.
Perundang-undangan
Amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia