Pendekatan Dalam Kriminologi

0
22186

Pengertian

Secara harfiah, kriminologi berasal dari kata ”crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Apabila dilihat dari kata tersebut, maka kriminologi mempunyai arti sebagai itu pengetahuan tentang kejahatan. Pengertian secara harfiah tersebut memberikan kita pada suatu pengertian yang sempit bahkan dapat juga menjerumuskan pada pengertian yang salah. Pengertian kriminologi sebagai ilmu tentang kejahatan akan menimbulkan suatu persepsi bahwa hanya kejahatan saja yang dibahas dalam kriminologi.

Sutherland dan Cressey berpendapat bahwa : “criminology is the body of knowledge regarding crimes as a social phenomenon”.

Sutherland dan Cressey mengemukakan, yang termasuk dalam pengertian kriminologi adalah proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi terhadap pelanggaran hukum. Dengan demikian kriminologi tidak hanya mempelajari masalah kejahatan saja tetapi juga meliputi proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum serta reaksi yang diberikan terhadap para pelaku kejahatan.

Kriminologi dapat ditinjau dari dua segi, yaitu, 1. kriminologi dalam arti sempit yang hanya mempelajari kejahatan, dan 2. kriminologi dalam arti luas, yang mempelajari teknologi, dan metode-metode yang berkaitan dengan kejahatan dan masalah prevensi kejahatan dengan tindakan-tindakan yang bersifat punitif.

Dalam rangka mempelajari masalah kejahatan Hermann Mannheim mengemukakan 3 pendekatan:

  1. PENDEKATAN DESKRIPTIF, adalah suatu pendekatan dengan cara melakukan observasi dan pengumpulan data yang berkaitan dengan fakta-fakta tentang kejahatan dan pelaku kejahatan seperti : (a). bentuk tingkah laku kriminal, (b). bagaimana kejahatan dilakukan, (c). frekuensi kejahatan pada waktu dan tempat yang berbeda, (d). ciri-ciri pelaku kejahatan, seperti usia, jenis kelamin dan sebagainya, dan (e). perkembangan karir seorang pelaku kejahatan.

Pemahaman kejahatan melalui pendekatan deskriptif ini dikenal sebagai fenomenologi atau simptomatologi kejahatan. Di kalangan ilmuwan, pendekatan deskriptif sering dianggap sebagai pendekatan yang bersifat sangat sederhana. Meskipun demikian pendekatan ini sangat bermanfaat sebagi studi awal sebelum melangkah pada studi yang bersifat lebih mendalam.

Hermann Mannheim menegaskan adanya beberapa syarat yang harus dipenuhi bila menggunakan pendekatan deskriptif, yaitu :

  • Pengumpulan fakta tidak dapat dilakukan secara random. Oleh karena itu fakta-fakta yang diperlukan harus secara selektif
  • Harus dilakukan penafsiran, evaluasi dan memberikan pengertian secara umumj terhadap fakta-fakta yang diperoleh. Tanpa dilakukan penafsiran, evaluasi dan memberikan secara umum, maka fakta-fakta tersebut tidak akan mempunyai arti.

2. PENDEKATAN SEBAB AKIBAT, pendekatan yang melihat bahwa fakta-fakta yang terdapat dalam masyarakat dapat ditafsirkan untuk mengetahui sebab musabab kejahatan, baik dalam kasus-kasus yang bersifat individual maupun yang bersifat umum. Hubungan sebab akibat dalam kriminologi berbeda dengan sebab-akibat yang terdapat dalam hukum pidana. Dalam hukum pidana, agar suatu perkara dapat dilakukan suatu penuntutan harus dapat dibuktikan adanya hubungan sebab-akibat antara suatu perbuatan dengan akibat yang dilarang.

Berbeda dengan hubungan sebab-akibat dalam hukum pidan, dalam kriminologi hubungan sebab-akibat dicari setelah hubungan sebab-akibat dalam hukum pidana terbukti. Untuk lebih jelasnya, apabila hubungan kausal dalm hukum pidana telah diketahui, maka hubungan sebab-akibat dalam kriminologi dapat dicari, yaitu mencari jawaban atas pertanyaan mengapa orang tersebut melakukan kejahatan. Usaha untuk mengetahui kejahatan dengan menggunakan pendekatan sebab-akibat ini dikatakan sebagai etiologi kriminil (etiology of crime).

 3. PENDEKATAN SECARA NORMATIF

Kriminologi dikatakan sebagai idiographic-discipline dan nomothetic –discipline. Dikatakan sebagai idiographic discipline , karena kriminologi mempelajari fakta-fakta, sebab-akibat, dan kemungkinan-kemungkinan dalam kasus yang bersifat individual. Sedangkan yang dimaksud dengan nomothetic –discipline adalah bertujuan untuk menemukan dan mengungkapkan hukum-hukum yang bersifat ilmiah, yang diakui keseragaman dan kecenderungan-kecenderungannya.

Apapun yang dikatakan oleh para ahli tentang kriminologi, yang menjadi permasalahan adalah : apakah kriminologi merupakan ilmu yang bersifat normatif atau bersifat nonnormatif ?

Bianchi mengatakan apabila kejahatan itu merupakan konsep yuridis, berarti merupakan dorongan bagi kriminologi untuk mempelajari norma-norma. Oleh karena itu kriminologi merupakan disiplin yang normatif.

Berbeda dengan Bianchi, Hermann Mannheim berpendapat bahwa meskipun kriminologi itu mempelajari sesuatu yang bersifat normatif, kriminologi itu sendiri bukan bersifat normatif, tetapi bersifat faktual. Criminology is not a normative but a factual discipline, demikian Harmann Mannheim.

Sering dipermasalahkan apaka kriminologi perlu membatasi dirinya hanya mempelajari kejahatan dalam arti yuridis atau juga perlu mempelajari tingkah laku lainnya yang tidak diatur dalam hukum (pidana) ?

Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas terdapat dua pendapat yang saling berlawanan. Kelompok pertama beranggapan bahwa kriminologi hanya mempelajari kejahatan dalam arti yuridis. Sedangkan kelompok kedua, yang berpandangan lebih luas, berpendapat bahwa kriminologi tidak hanya mempelajari perilaku lain yang bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pendapat kedua inilah yang banyak dianut oleh para kriminolog.

Pandangan yang sempit, yang mengartikan kejahatan dalam pengertian yuridis saja, dianut oleh Vouin-Leaute. Beliau berpendapat bahwa semua perbuatan yang anti social adalah dilarang oleh Undang-Undang dan dirumuskan sebagai kejahatan dalam undang-undang. Oleh karena itu prinsip-prinsip “de minimis non curat preator” harus diterima oleh para kriminolog.

Berbeda dengan pendapat diatas Sutherland dan Cressey mengemukakan 7 syarat untuk perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan, yaitu :

  • Sebelum suatu perbuatan disebut sebagai kejahatan harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata, yang berupa kerugian ;
  • Kerugian yang ditimbulkan harus merupakan kerugian yang dilarang oleh undang-undang dan secara jalas tercantum dalam hukum pidana ;
  • Harus ada perbuatan yang membiarkan terjadinya perbuatan yang menimbulkan kerugian tersebut ;
  • Dalam melakukan perbuatan tersebut harus terdapat maksud jahat atau “mens rea” ;
  • Harus ada hubungan antara perilaku dan “mens rea” ;
  • Harus ada hubungan kausal antara kerugian yang dilarang undang-undang dengan perbuatan yang dilakukan atas kehendak sendiri (tanpa ada unsur paksaan) ;
  • Harus ada pidan terhadap perbuatan tersebut yang ditetapkan oleh undang-undang.

Dari apa yang dikemukakan oleh Sutherland dan Cressey tersebut diatas jelas bahwa yang dimaksud dengan kejahatan, menurut Sutherland dan Cressey, merupakan pengertian kejahatan dalam arti yuridis.

Berbeda dengan pendapat Vouin-Leaute, Hermann Mannheim menyatakan bahwa pendapat Vouin-Leaute kurang dapat dibenarkan. Hal ini disebabkan :

  • Perbedaan pendapat yang terjadi tidak berkaitan dengan perbuatan yang berhubungan dengan alat-alat perlengkapan Negara tetapi berkaitan dengan perbuatan yang bersifat anti social, yang dirumuskan dalam hukum pidana.
  • Pengaturan semua bentuk tingkah laku dalam hukum pidana merupakan suatu asumsi yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Oleh karena itu kriminologi harus mengadakan penelitian tentang bentuk-bentuk perbuatan yang menjadi objek pertentangan. Hal ini berarti para kriminolog tidak terkait pada asas “nullum crimen sine lege” dan harus mengemukakan fakta-fakta yang diperlukan oleh pembentuk undang-undang dalam rangka pembaharuan hukum (pidana).

Sering dipertanyakan pula, apakah kriminologi mempelajari pula politik kriminal? Atas pertanyaan tersebut Hermann Mannheim berpendapat bahwa kriminologi harus bersifat “non-policy-making discipline” terhadap pendapat ini J.E. Sahetapy berpendapat sebagai berikut :

Saya berpendapat dengan Hermann Mannheim bahwa kriminologi harus tetap bersifat “non-policy-making discipline, piece-meal social engineering which-regards the ends as beyond its provincie”. Namun berbeda dengan Hermann Mannheim, saya berpendapat bahwa hal itu tidak berarti bahwa para sarjana kriminolog tidak dapat mengusulkan tindakan hukum atau perbaikan dalam system pemidanaan, meskipun kata akhir tetap dalam tangan badan-badan yang berwenang.

Dari pendapat J.E sahetapy tersebut dapat diketahui bahwa meskipun kriminologi itu bersifat non-policy-making discipline tidak berarti kriminolog tidak berperan dalam pembentukan hukum.  Para kriminolog tetap berperan dalam pembentukan hukum, karena pemikiran para kriminolog yang future–oriented sangat diperlukan dalam pembentukan hukum.

Dalam kedudukannya sebagai suatu ilmu pengetahuan, kriminologi sering dipertanyakan : Apakah kriminologi merupakan ilmu yang membantu hukum pidana ataukah merupakan ilmu yang berdiri sendiri?

Thorsten Sellin mengemukakan bahwa kriminologi adalah kings without a country. Pendapat Sellin ini dikaitkan dengan pendapat kriminolog yang sebenarnya berasal dari disiplin lain sosiolog, psikiater, sarjana hukum, insinyur dan sebagainya. Pendapat Sellin ini ditantang oleh Van Bemmelen yang menyatakan bahwa tidak ada suatu ilmu pengetahuan pun yang tidak bergantung dari ilmu pengetahuan yang lain. Oleh karena itu Van Bemmelen mengatakan kriminologi sebagai a true king.

Apapun yang diperdebatkan tentang kriminologi, yang jelas kriminologi merupakan suatu ilmu yang membutuhkan kerja sama dari disiplin-disiplin yang lain, yang oleh Erwin Frey dikatakan sebagai ”scientific clearing house”.

Kembali pada kedudukan kriminologi disamping hukum pidana, pada waktu lampau kriminologi dianggap sebagai bagian dari hukum pidana. Dalam perkembangan selanjutnya, kriminologi ditempatkan sebagai ilmu pembantu hukum pidana. Pada masa sekarang, pandangan yang demikian tidak dapat dipertahankan lagi. Kriminologi tidak dapat dikatakan sebagai ilmu pembantu hukum pidana. Lebih tepat jika kriminologi dikatakan sebagai ”meta science” seperti yang dinyatakan oleh Bianchi, yaitu suatu ilmu yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas dimana pengertiannya dapat dipergunakan untuk memperjelas konsepsi-konsepsi dan masalah-masalah yang terdapat dalam hukum pidana. Dengan demikian ”meta science” bukan merupakan pelengkap terhadap hukum pidana.

Save

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here