GRATIFIKASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

GRATIFIKASI DAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

PENDAHULUAN

Korupsi dikualifikasikan dari perspektif kriminologis sebagai the multy endemic crime, atau ada pula yang menyebutnya sebagai the structural crime atau kejahatan yang sudah berstruktur, mengakar kuat bahkan sudah bersistem, sehingga korupsi digolongkan ke dalam seriously crime atau “extra ordinary crime”. Dengan demikian penangannya pun semestinya berskala ekstra, dengan pendekatan bersistem (systematic approach). Pendekatan ini melibatkan institusi yang terkait dengan pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana (institutional criminal justice system) maupun institusi di luar peradilan pidana untuk saling memberikan supporting terhadap penanganan perkara korupsi (upaya penal) dan sekaligus melakukan upaya pencegahannya (upaya non penal).

Akan tetapi upaya penegakan hukum (law enforcement) terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia belum menampakkan harapan cerah. Kasus-kasus korupsi banyak yang berhenti (dipetieskan) dalam tahapan pra-ajudikasi (pre-adjudication phase, preliminary phase) meskipun pengadilan tindak pidana korupsi (yang digelar oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) mulai menunjukkan kinerjanya dalam mengadili beberapa perkara korupsi berskala nasional seperti kasus mark up harga surat suara di kalangan KPU.

Salah satu penyebab kesulitan pengungkapan dan penanganan perkara korupsi ialah kesulitan dalam hal pembuktian. Penyebab yang lain ialah kuatnya kedudukan pelaku korupsi karena memiliki economic and social power, bureaucratic power, sehingga memposisikan mereka sebagai beyond the law man (manusia yang sukar dijangkau hukum). Lebih parah dari itu di dalam tubuh aparatur peradilan pidana saja terjadi korupsi, contoh kasus isu suap di lingkungan Mahkamah Agung dalam perkara kasasi pengusaha Probosutejo akhir September 2005, sehingga adalah tepat sinisme yang dinyatakan oleh Satjipto Rahardjo dengan gaya sosiologi hukumnya bahwa “bagaimana mungkin menyapu halaman sebuah rumah secara bersih kalau sapunya sendiri sebuah sapu kotor”[1] Maksud Sang Begawan hukum ini adalah sukar untuk memberantas korupsi kalau aparat peradilan sebagai pihak yang langsung menegakkan hukum saja masih syarat dengan perilaku korupsi.

Kemana lagi harus kita belajar memberantas korupsi di Indonesia secara sistematis? Pertanyaan demikian pernah dikemukakan oleh Dahlan Iksan dalam pengantar buku “memerangi Korupsi, suatu peta jalan untuk Indonesia” ditulis oleh Ian McWalters.[2] Dahlan Iksan kemudian menunjuk Hongkong sebagai salah satu arah pembelajaran Indonesia memberantas korupsi. Singkatnya bahwa 30 tahun lalu di Hongkong merupakan masa terburuk penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, sebuah mobil pemadam kebakaran yang sudah sampai di lokasi kebakaran tak akan menyemprot air memadamkan api yang berkobar, manakala tak ada pernyataan korban untuk memberikan uang lelah kepada petugas bersangkutan. Begitu pula jururawat (perawat) di rumah sakit tak mau menginjeksi pasien, bila keluarga pasien atau pasien yang bersangkutan belum membisik bahwa nanti diberi uang tambahan. Keadaan seperti di Hongkong mudah-mudahan tidak terjadi di Indonesia (mungkin sudah terjadi).

Oleh karena itu kesulitan dalam hal pembuktian menjadi fokus perhatian serius dalam penanganan korupsi di Indonesia. Bersinergi dengan pembuktian tersebut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur “pembalikan beban pembuktian” (reversal burden of proof, omkering van het bewijslaat). Akan tetapi patut dicatat bahwa tidak semua tindak pidana korupsi (Pasal 2 sampai Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999) menghendaki pembalikan beban pembuktian, akan tetapi terbatas pada dua hal yakni (1) delik pemberian (gratification) atau pemberian yang berkaitan dengan suap (bribery), dan (2) soal perampasan dari delik-delik yang diatur dalam Pasal 2 sampai Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Maksud hal kedua ini adalah terdakwa berdasarkan dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dianggap terbukti melakukan pelanggaran terhadap delik korupsi dalam Pasal 2 sampai Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, dan dikenakan perampasan harta bendanya, sehingga terdakwa wajib membuktikan berdasarkan sistem pembalikan beban pembuktian bahwa harta bendanya bukan berasal dari tindak pidana korupsi.


Delik Gratifikasi

Gratifikasi merupakan salah satu jenis delik korupsi yang baru yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UUTPK), karena sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang korupsi yang lama yakni Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.

Dalam Pasal 12 UUTPK disebutkan:

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419. Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dipidana (3) dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara Paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Pasal ini mengadop sekaligus mengintrodusir kembali pasal-pasal dalam KUHP yang sudah lama tertidur dan bergelar sebagaimana papieren tiger.

Disamping Pasal 12 maka gratifikasi lebih jelas lagi diatur dalam Pasal 13 UUTPK, yang menyatakan bahwa:

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Selanjutnya Pasal 12 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

Menurut Pasal 12 B ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa:

Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

Berdasarkan Pasal 12 B ayat (1) tersebut bahwa obyek dari tindak pidana korupsi adalah Gratifikasi, yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut, baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Pasal 12 B ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, dikecualikan pemberlakuannya dengan Pasal 12 C ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa:

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menyimak rumusan pasal-pasal gratifikasi di atas, baik yang diatur dalam UUTPK maupun dalam UU Perubahan UUTPK, maka ada 3 (tiga unsur) penting suatu gratifikasi yang mengarah kepada suap yang mesti diperhatikan, yakni (1) ada menerima hadiah atau janji; (2) berkaitan dengan kekuasaan yang melekat pada jabatan; (3) bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya.

Dengan demikian dalam delik gratifikasi si penerima yang menerima pemberian tersebut itu harus berhubungan dengan jabatan dan bertujuan bahwa dengan pemberian tersebut si penerima akan melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji, tetap harus ada dugaan terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum. Formula atau rumusan lain yang serupa bahwa si penerima pemberian wajib membuktikan bahwa pemberian itu bukan suap. Oleh karenanya, terdakwa akan membuktikan bahwa pemberian itu tidaklah berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sedangkan unsur menerima hadiah atau janji, tetap harus ada dugaan terlebih dahulu dari Jaksa Penuntut Umum. Dalam kaitan inilah memunculkan “pembalikan beban pembuktian”.

Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Delik Gratifikasi

Dari segi istilah UUTPK dan UU Perubahan UUTPK menggunakan istilah “pembuktian terbalik” sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum dari UU Perubahan UUTPK Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa: Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini (UU Nomor 20 Tahun 2001).

Penggunaan istilah pembuktian terbalik menurut beberapa sarjana hukum di Indonesia seperti Andi Hamzah dan Indriyanto Seno Adji yang intinya berpendapat bahwa pembuktian terbalik saja dapat menimbulkan makna bias, manakala tidak ditambahkan kata “beban” (burden) sebab dalam hal ini pergeseran atau tata urut dari alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP (Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa) tidak bergeser atau bertambah, tetapi kewajiban atau beban membuktikan saja yang terbalik, dari Jaksa Penuntut Umum ke Terdakwa.

Akan tetapi dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum tetap mempunyai kewajiban membuktikan dakwaannya maupun bukti-bukti yang diajukan oleh terdakwa. Sehingga lebih cocok kalau disebut “pembalikan beban pembuktian terbatas atau tidak murni”. Pernyataan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) dan (2) UU Perubahan UUTPK Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:

Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

Kemudian terhadap Pasal 37 tersebut di atas, maka muncul lagi Pasal 37 A ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perubahan UUTPK Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:

Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.
Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. (garis bawah dari penulis)

Pembuktian terbalik atau di negara-negara Anglo Saxon dikenal dengan (reversal burden of proof), atau di negara-negara Eropa Kontinental (Belanda) dikenal dengan (omkering van het bewijslaat) merupakan suatu pergeseran beban pembuktian (Shifting of Burden Proof). Dinyatakan terjadi pergeseran karena pembalikan beban pembuktian ini dimaksudkan sebagai bagian dari proses terobosan hukum acara pidana. Tujuannya untuk mempermudah dalam hal memperoleh bukti adanya tindak pidana korupsi, dan sistem pembuktian ini merupakan pengecualian (eksepsionalitas) dari beban pembuktian universal yang dibebankan atau diwajibkan pada Jaksa Penuntut Umum (General Prosecutor), bahkan ditambah dengan kriteria hanya pada perkara tertentu (certain cases).

Oleh karena itu penerapan pembalikan beban pembuktian hanya terbatas pada adjudication phase, dan tidak pada pre-adjudication phase, dan juga penerapannya terbatas pada delik gratifikasi dan perampasan harta benda yang diduga keras berasal dari tindak pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UUTPK dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU Perubahan UUTPK (Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001), sebagai tindak pidana korupsi (Penjelasan Pasal 38 B UU Perubahan UUTPK). Dari ketentuan ini timbul persoalan yuridis lain yakni penerapan reversal burden of proof ini apakah tidak bertentangan dengan hak asasi manusia dari terdakwa seperti asas umum dalam hukum pidana formil tentang presumption of innocent, non-self incrimination rights (hak untuk tidak menyalahkan diri sendiri), remind silent rights (hak untuk diam).

Untuk menjaga tidak terjadinya pelanggaran hak-hak terdakwa, maka disarankan (didiskusikan) penerapan pembalikan beban pembuktian ini hanya terjadi pada tahap ajudikasi (adjudication phase) dan tidak pada tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication phase). Hal yang menjadi dasar pemikiran adalah apabila diterapkan juga pada pada tahap pra ajudikasi (pre-adjudication phase) dikuatirkan akan menjadi faktor kriminogen bagi tumbuhnya korupsi gaya baru karena ketidaktransparansinya tahapan pra-ajudikasi tersebut.

Hal lain yang harus dipertimbangkan sekaligus menjadi saran adalah penerapan sistem pembalikan beban pembuktian ini jangan sampai menerobos asas non retroaktif, bahkan dikuatirkan pula akan menimbulkan motif lex talionis (motif balas dendam terhadap terdakwa). Saran juga bahwa dalam penerapan sistem ini hendaknya tetap dipertahankan makna daad-dader strafrecht dengan ide pokok mono-dualisitik keseimbangan antara perlindungan kepentingan masyarakat dengan tidak melupakan kepentingan individu (dader, pelaku), jika tidak diperhatikan secara serius, maka akan semakin meminimalisasi hak-hak terdakwa.

Penutup

Demikianlah beberapa hal mendasar yang berkaitan dengan gratifikasi dan sistem pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi, untuk dijadikan sebagai bahan (referensi) pengantar diskusi dalam seminar ini.

Jayapura, 01 Nopember 2006

*)Makalah, disampaikan pada seminar dalam rangka Dies Natalis Universitas Cenderawasih ke 44, Tanggal 10 Nopember 2006.

[1]Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas Jakarta, 2006, h. xi.

[2]Ian McWalters, Memerangi Korupsi Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, Jawa Pos Group, PT Temprina Media Grafika, Surabaya, 2006.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top