REVITALISASI PERADILAN ADAT SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN DELIK ADAT PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT PAPUA
REVITALIZATION OF ADAT COURT AS AN ALTERNATIVE OF ADAT DELICT SETTLEMENT AT PAPUA ADAT LAW COMMUNITY
BUDIYANTO (DISERTASI)
PENDAHULUAN
Pembangunan di bidang budaya sudah mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap keragaman budaya, pentingnya toleransi, dan pentingnya sosialisasi penyelesaian masalah tanpa kekerasan, serta mulai berkembangnya interaksi antar budaya.[1]
Di era reformasi upaya perwujudan sistem hukum nasional terus dilanjutkan, yang meliputi: pertama, pembangunan substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis telah mempunyai mekanisme untuk membentuk hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat; kedua, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif terus dilanjutkan; ketiga, pelibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembentukan sistem hukum nasional yang dicita-citakan.[2]
Pengakuan dan penghormatan terhadap hukum adat oleh negara tercermin dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945. Hal ini memberikan makna bahwa hukum adat diakui eksistensinya sepanjang hukum adat tersebut masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di bidang sistem peradilan pidana pengakuan terhadap eksistensi hukum adat, tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu: “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Hal ini menjadi pintu masuk bagi seorang hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami hukum adat (hukum yang hidup dalam masyarakat) dan menjadikannya sebagai dasar pertimbangan dalam memeriksa dan memutus perkara yang ditangani. Oleh sebab itu, hukum positif yang baik dan memiliki daya keberlakuan tinggi, maka harus sesuai dengan hukum yang hidup (the living law).[3]
Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 58 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengandung pengertian bahwa peradilan yang diakui hanyalah peradilan negara, dan tidak diakui lagi ada peradilan lain dalam sistem peradilan nasional.
Sejak berlakunya Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk Menyelengga-rakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil (LN. 1951 Nomor 9), maka secara berangsur-angsur Inheemsche Rechtspraak (peradilan Pribumi/Peradilan Adat) dan Zelfbestuur Rechtspraak (Peradilan Swapraja) tersebut dihapus, kecuali peradilan desa (dorpsjustitie).[4] Hal ini berarti, jika terjadi perselisihan adat (pelanggaran delik adat) yang mengadili seharusnya adalah pengadilan negeri, bukan peradilan adat. Namun dalam kenyataannya hakim di dalam memeriksa dan memutus perkara adat tidak semua mengetahui dan memahami nilai-nilai yang hidup pada masyarakat hukum adat setempat. Oleh karena itu menjadi suatu keharusan bahwa hakim dalam memutus perkara (perkara adat), wajib menggali dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat (hukum adat yang berlaku). Hal ini bertujuan agar putusan hakim tersebut lebih mencerminkan rasa keadilan menurut masyarakat hukum adat setempat.
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-undang (disingkat undang-undang Otsus), maka khusus Provinsi Papua dibentuk dan diberlakukan peradilan adat untuk menyelesaikan perkara adat (delik adat/hukum pidana adat) selain peradilan negara yang berlaku secara nasional selama ini. Selanjutnya upaya untuk memperkokoh kedudukan peradilan adat dan pelaksanaannya bagi masyarakat adat di Papua, maka disusunlah Peraturan Daerah Khusus (disingkat Perdasus) Papua Nomor 20 tahun 2008 tentang Peradilan adat di Papua.
Sekalipun Otsus dan Perdasus telah mengakui dan mengatur kewenangan kepada peradilan adat dalam menangani perkara adat di Provinsi Papua, namun dalam implementasinya penyelesaian delik adat tersebut dinilai masih belum optimal. Munculnya masalah dan perdebatan terkait dengan keberadaan peradilan adat tersebut, dipengaruhi oleh aspek teritorial, yaitu kondisi masyarakat hukum adat di Provinsi Papua memiliki sebuah tatanan hukum adat yang beragam antara masyarakat hukum adat yang satu dengan yang lain sesuai dengan kondisi di wilayah masing-masing. Hal ini berpengaruh terhadap proses atau cara penyelesaian kasus (delik adat) dan penerapan sanksi adatnya.
Perdebatan terkait dengan putusan peradilan adat yang bersifat tidak final. Konsekuensinya bahwa putusan peradilan adat selama ini dapat dibatalkan oleh pengadilan negara dalam hal ada pihak yang menolak atau keberatan terhadap putusan hakim adat. Hal ini dikarenakan secara kelembagaan kedudukan peradilan adat tidak mandiri dan berada di bawah sub-ordinasi peradilan negara.
Masalah lain yang dihadapi dalam penyelenggaraan peradilan adat di Provinsi Papua adalah belum ada batasan yang jelas tentang jenis-jenis perkara (delik adat) yang dapat diselesaikan melalui peradilan adat tanpa melalui peradilan negara. Perkara-perkara yang diselesaikan peradilan adat tergantung pada ada tidaknya pengaduan masyarakat hukum adat. Sejauh ini nampak belum ada kerjasama/koordinasi dalam bentuk pelimpahan perkara-perkara yang dapat diselesaikan oleh peradilan adat. Padahal fungsi dari peradilan adat sesungguhnya dapat menjadi salah satu instrumen efektif untuk mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan, dan sekaligus memperkuat dan memaksimalkan fungsi dari peradilan adat itu sendiri.
Kebijakan hukum pidana dan pembangunan hukum nasional selama ini masih tampak belum secara tegas mengacu pada hukum adat. Keberadaan hukum tidak tertulis (hukum adat) selama ini hanya terbatas pengakuan saja dan digunakan oleh hakim peradilan negara ketika suatu perkara yang diajukan tidak diatur oleh undang-undang (hukum pidana). Hukum adat yang selama ini diakui sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat belum dapat diakomodasi dalam pembentukan hukum nasional.
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka dapat diduga kuat menimbulkan perbedaan prinsip, pandangan, dan kepercayaan masyarakat hukum adat dalam memahami hukum nasional dan keberadaan peradilan negara. Oleh karena itu untuk memberdayakan (merevitalisasi) peradilan adat sebagai lembaga penyelesaian delik adat, maka diperlukan adanya sinergitas dan harmonisasi antara hukum adat dan hukum nasional, sinergitas antara peradilan adat dan peradilan negara, antara aparat penegak hukum dan masyarakat hukum adat, serta semua pihak terkait termasuk masyarakat hukum adat, pemerintah pusat dan daerah, sehingga proses peradilan adat dapat memberikan rasa keadilan kepada semua pihak, dan dapat menanggulangi berbagai bentuk pelanggaran delik adat.
Dengan demikian upaya penegakan hukum di Papua tidak hanya monopoli pengadilan negara saja, tetapi perlu diberikan ruang yang cukup kepada masyarakat hukum adat untuk memberdayakan (revitalisasi) peradilan adat sebagai lembaga adat yang berguna untuk menyelesaikan pelanggaran delik adat. Hal ini semata-mata untuk menjaga keseimbangan hubungan sosial dan menciptakan ketentraman serta kedamaian pada masyarakat hukum adat. Apalagi bila permasalahan hukum itu timbul di wilayah-wilayah yang belum terjangkau secara maksimal oleh aparat penegak hukum.
Berdasarkan kondisi yang telah dikemukakan tersebut, maka kehadiran Otsus dan Perdasus sesungguhnya merupakan peluang yang amat prospektif dan strategis untuk memberdayakan fungsi lembaga peradilan adat di Provinsi Papua. Oleh karena itu pengkajian secara mendalam terhadap persoalan ini dinilai sangat penting untuk dilakukan guna mendapatkan konsep metode dan sistem yang dapat dijadikan dasar bagi pemecahan masalah dalam memberdayakan atau mendayagunakan (merevitalisasi) peradilan adat di Provinsi Papua.
- Saran
- Dibutuhkan adanya langkah untuk melakukan inventarisasi terhadap jenis-jenis delik adat yang masih ada/hidup/berlaku dan sanksi adatnya, melakukan upaya untuk mengembalikan kewibawaan pengadilan adat yang terjelma dalam putusannya sebagai putusan yang final dan mandiri, melakukan pembagian kewenangan yang jelas dalam memeriksa dan memutus perkara, dan berupaya mempertahankan peradilan adat sebagai lembaga penyelesian delik adat yang sesuai dengan kondisi budaya dan tradisi masyarakat hukum adat Papua. Dalam rangka mewujudkan langkah tersebut, terutama dalam hal mengembalikan dan menjaga kewibawaan terhadap peradilan adat Papua, maka seharusnya dilakukan perubahan Pasal 51 ayat (4) dan ayat (6) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dan Pasal 8 ayat (4) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Peradilan Adat Di Papua, sehingga penyelesaian delik adat oleh hakim adat dapat memberikan hasil yang optimal terutama dalam memberikan rasa keadilan.
- Tahapan dan mekanisme penyelesaian delik adat yang selama ini berjalan sebaiknya tetap mengedepankan nilai dasar kultural yang asli dari masyarakat adat, tanpa mengurangi nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum masyarakat adat, sehingga tujuan yang diharapkan yaitu untuk memberikan kesempatan kepada pelaku memperbaiki diri, mengakui perbuatan, permintaan maaf serta bertanggung jawab kepada korban dapat tercapai dengan baik dan dapat mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu.
- Kebijakan hukum pidana dan pembangunan hukum nasional yang dilakukan pemerintah seyogyanya diarahkan pada kebijakan yang memprioritaskan pada usaha memperbaharui hukum positif sehingga sesuai dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Pembangunan hukum nasional semata-mata untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan berupaya untuk melakukan harmonisasi, sinergitas dan sinkronisasi, sehingga eksistensi hukum adat dan peradilan adat tetap terjaga dan tidak terusik oleh adanya pikiran atau sikap yang mempertentangkan antara hukum adat dan hukum nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Rujukan Buku:
Abintoro Prakoso. 2013. Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak. Laksbang Grafika. Yogyakarta.
Abdul Rahman Upara. 2011. Eksistensi Putusan Pengadilan Adat di Papua Dalam Perspektif Asas Ne Bis In Idem. Jurnal Konstitusi Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Cenderawasih. Volume IV No.1 Juni 2011. Jayapura.
Abrar Saleng. 2004. Hukum Pertambangan. UII Press Andico Multiplay. Yogyakarta.
Achmad Ali. 2010. Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom & Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum. Kencana. Jakarta. (Selanjutnya ditulis Achmad Ali I).
———. 1996. Menguak Teori Hukum. Yasrif. Jakarta. (Selanjutnya ditulis Acmad Ali II).
———. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence) (Volume 1, Pemahaman Awal). Kencana Prenada Media Group, Jakarta. (Selanjutnya ditulis Achmad Ali III).
Ade Saptomo. 2010. Hukum dan Kearifan Lokal Revitalisasi Hukum Adat Nusantara. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
BIODATA
Nama : Budiyanto
Tempat/Tanggal Lahir : Nganjuk, 24 Januari 1966
Alamat : Jayapura-Papua
Pekerjaan : Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih
Pendidikan : SDN Baron Timur, Nganjuk, tamat Tahun 1979
SMPN Warujayeng, Nganjuk, tamat Tahun 1982
SMA Katolik Nganjuk, tamat Tahun 1985
S1 Fakultas Hukum Uncen Jayapura, tamat Tahun 1991
S2 Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar, tamat Tahun 2000
Pengalaman Kerja : Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih sampai sekarang